EVALUASI PEREKONOMIAN INDONESIA SEMESTER I 2018
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos 19
Juni 2018
Pertengahan
tahun ini situasi ekonomi nasional menarik untuk dicermati. Perekonomian global
yang semula diperkirakan akan menuju ke kondisi yang lebih baik dari pada 2017,
tiba – tiba harus disikapi secara hati-hati. Setidaknya ada tiga peristiwa
besar yang melatar belakangi, pertama kenaikan suku bunga the fed, kedua
meningkatnya ketegangan perang dagang antara USA dan China, ketiga ketakutan
terhadap ancaman akan terjadi kembali krisis ekonomi dunia. Bahkan direktur IMF
Christine Lagarde siaran langsung di bloomberg
pada tanggal 12/06/2018 jam 13.00 WIB, mengeluarkan statemen bahwa “awan
yang menyelimuti perekonomian dunia sejak akhir Januari 2018 ternyata semakin
lama, warna-nya semakin hitam” untuk menilai situasi perekonomian global saat
ini. Selama enam bulan terakhir mayoritas bursa efek dunia mengalami
pertumbuhan negatif dan dampak itu juga dirasakan oleh Indonesia. Dimana, IHSG
melorot dari angka sekitar 6.500 melorot ke angka 5.900. Nilai tukar rupiah
juga melemah 6,7% sejak akhir Januari sampai Juni 2018.
Negara-negara
sedang berkembang sendiri saat ini juga tengah berjuang untuk mengatasi tiga
problem utama, yaitu neraca fiskal, arus modal keluar (capital outflow) dan neraca perdagangan yang defisit. Tiga problem
utama inilah yang juga dialami oleh Indonesia, sehingga pada semester pertama
2018, sebagian besar kebijakan pemerintah dan bank sentral diupayakan untuk
meredam tiga persoalan serius tersebut.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada semester I 2018 ini bisa dikatakan kurang
menggembirakan, yaitu mencapai 5,1%. Tingkat pertumbuhan ini boleh dibilang
kurang menggemberikan, dikarenakan pada saat yang bersamaan negara-negara
tetangga justru mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia tercatat hanya lebih baik dari Thailand tapi masih dibawah Malaysia,
Filiphina dan Vietnam. Karakteristik pertumbuhan ekonomi Indonesia dari segi
permintaan masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga, dari sisi penawaran
penyumbang terbesar masih sektor non-tradeble
dan dari sisi wilayah masih terpusat di Jawa dan Sumatera. Dengan kondisi
tersebut, boleh dikatakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi nasional belum
mengalami perubahan yang cukup berarti dalam beberapa tahun belakangan ini.
Kontribusi
konsumsi rumah tangga yang besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional masih bisa
diterima, namun dengan semakin terintegrasinya Indonesia dengan perekonomian
global seharusnya peran perdagangan internasional dan investasi semakin besar
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kemudian, peran pertumbuhan ekonomi yang
didominasi oleh non-tradeable sector membuat
proses pengurangan kemiskinan dan pengangguran menjadi semakin sulit dan
lambat. Pada tahun 2017 saja, anggaran kemiskinan mencapai Rp. 292 Trilliun,
tetapi penduduk miskin hanya turun sekitar 1,19 juta jiwa. Angka penurunan
kemiskinan ini sama dengan angka penurunan kemiskinan pada tahun 2010 hanya
dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 94 Trilliun. Angka kemiskinan tersebut
diperoleh dengan cara menghitung penduduk yang memiliki pendapatan dibawah Rp. 354.386/bulan.
Penurunan ini juga masih bisa dipersoalkan karena jumlah penduduk miskin yang
paling banyak turun berada di wilayah pedesaan, padahal tahun 2017 laju
pertumbuhan sektor pertanian (tempat banyak orang miskin bekerja) hanya tumbuh
3,33% dan upah buruh tani hanya naik 0,25%. Pengurangan tingkat kemiskinan yang
relatif stagnan dan meningkatnya ketimpangan merupakan tantangan ganda bagi
pemerintahan Jokowi.
Inflasi
menunjukkan kondisi yang relatif terkendali berada pada level 3,2%. Sampai Juni
2018, komponen penyumbang terbesar masih berasal dari bahan makanan dan makanan
jadi (kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau). Karekter inflasi
ini tidak mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Inilah salah satu
keunggulan dari pemerintah Jokowi, yaitu mampu menjaga inflasi berada pada
level dibawah 5%. Defisit neraca berjalan turun sedikit dari 2,3% terhadap PDB
pada Q4 2017 menjadi 2,1% terhadap PDB pada Q1 2018. Salah satu penyebabnya
pertumbuhan import 2 kali lebih besar dari pertumbuhan eksport. Export
Indonesia pada Q1 2018 menurun 1,9% dari Q4 2017. Sedangkan import naik 0,6%
dari Q1 2018 terhadap Q4 2017. Neraca pembayaran Indonesia ditolong dari
meningkatnya pertumbuhan turis yang berlibur ke Indonesia selama semester I
2018 dan meningkatnya arus masuk remittances
akibat dari masuknya bulan Ramadhan dan hari raya di semester I ini. Ini juga yang menyebabkan nilai tukar rupiah
lebih stabil di bulan Mei dan Juni ini.
Dengan
mencermati keadaan tersebut, maka target pemerintahan Jokowi untuk memperoleh
pertumbuhan ekonomi sekitar 5,4% masih terbuka, namun dengan catatan
kualitasnya kurang bagus (karena sektor rill masih belum tumbuh tinggi).
Berikutnya eksport Indonesia berpotensi tumbuh 7% pada tahun ini dikarenakan
membaiknya harga-harga komoditas internasional (batu bara, LNG, Palm Oil, mineral),
dengan catatan tidak terjadi krisis di negara maju (khususnya negara-negara Uni
Eropa) akibat dari isu italexit.
Inflasi juga dapat dikelola dalam rentang antara 3,2% - 4%, tentu dengan
catatan pemerintah tidak melakukan kenaikan harga pada kebutuhan pokok penduduk
(Listrik dan BBM). Nah selebihnya, pekerjaan rumah yang harus dikerjakan
pemerintahan Jokowi ada tiga hal : pertama, memitigasi capital outflow dipasar keuangan yang sudah mencapai US$ 1,2
milyard. Kedua, mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan industri manufaktur
untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Ketiga, mengendalikan inflasi
dengan mengelola stabilitas harga pangan.
Penulis
Gigih Prihantono
Dosen FEB Unair
Komentar
Posting Komentar